Senin, 14 Oktober 2013

Makalah Ulumul Qur'an tentang Al Qur’an Turun atas Tujuh Huruf Qira’at dan Para Qurra’



Al Qur’an Turun atas Tujuh Huruf
Qira’at dan Para Qurra’

MAKALAH
Di  Susun  Guna  Memenuhi  Tugas :
Mata  Kuliah             :  Ulumul Quran
Dosen  Pengampu        :  Dr. Zuhad, M.A

       




  

Di susun Oleh:

Rizka Qomariyah
124111029


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan

Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan yang berguna untuk mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupak

an kitab otentik dan unik. Redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.

Fenomena Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw selalu menjadi hal yang menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’ah ahruf) menimbulkan perbedaan pendapat dalam memaknainya di kalangan ulama, perbedaan pendapat ini bersumber pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, serta hubungannya dengan cakupan mushaf Usman.  Namun sebagian ulama ada yang menyangka ahruf sab’ah itu dengan qira’at sab’ah. Dibawah ini akan dijelaskan tentang macam-macam pengertian tujuh huruf menurut para ulama, perbedaan ahruf sab’ah dengan qira’at sab’ah, qira’at dan para qurra’.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian tujuh huruf menurut para ulama ?
2.      Apa perbedaan antara ahruf sab’ah dengan qira’at sab’ah ?
3.      Pengertian qira’at dan para qurra’





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian tujuh huruf menurut para ulama
Banyak hadis mutawatir yang menerangkan bahwa Al Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf. Diantara hadis dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda,

أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده و يزيد ني حتى انتهى الى سبعة أحرف

" Jibril membacakan ( Al Qur’an ) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian dia  berulang kali aku minta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.” ( Rawi : Bukhari).
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khatab RA,  Ia berkata, “ Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-furqan dimasa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaanya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya disaat ia shalat, tetapi aku urungkan. Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai aku menarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab, “ Rasulullah yang membacakannya kepadaku, Lalu aku katakan kepadanya, “ Kamu berdusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-furqan dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “ Lepaskan dia, hai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti yang kudengar tadi. Maka kata Rasulullah , “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai Umar!” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka Rasulullah bersabda

إن هذا القرآن انزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منها[1]

" Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah yang mudahnya”.
Dalam menafsirkan huruf-huruf ini banyak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sampai tiga puluh lima pendapat. Namun kebanyakan pendapat itu tumpang tindih. Di sini saya akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang paling mendekati kebenaran.

1.      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapan satu makna, maka Al Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sedangkan menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar.
2.      Pendapat yang kedua ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surat Al Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam satu makna.
Menurut Abu Ubaid yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Al Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Hudzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain.
3.      Sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahy (larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan matsal (perumpamaan).[2]
Pendapat itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Nabi Saw bersabda,
Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu huruf. Sedang Al Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu : zajr (larangan),amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal ”.
Tapi Ibnu ‘Abdulbirr menegaskan, “ Hadis tersebut tidak dijamin kebenarannya oleh para ulama ahli hadis.[3]
4.      Segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu :
a.       Ikhtilaful asma’ ( perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya seperti tatsniyah, jamak dan ta’nits. Misalnya seperti firman Allah dalam surat Al Mulminun: 8 وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٨)  Ada yang membaca  لاماناتهم yaitu dengan jamak, dan ada pula yang membacanya dengan  لامانتهم yaitu dengan ifrad. Bentuk dalam mashaf لامنتهم .
b.      Perbedaan dalam segi i’rab, seperti firman Allah مَا هَذَا بَشَرًا  (Yusuf: 31) Jumhur membacanya dengan nasab, sebab ” ما” berfungsi seperti “ ليس” sebagaimana bahasa penduduk Hijaz. Adapun Ibnu Mas’ud membacanya مَا هَذَا بَشَرٌ yaitu dengan rafa , sesuai dengan bahasa Tamim.
c.       Perbedaan dalam tashrif, seperti firman Allah فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا (Saba’ : 19), dibaca dengan menasabkan ربَنا  karena menjadi mudhaf dan باعِدْ dibaca dalam bentuk perintah (fi’il amr). Disini dibaca pula dengan rafa’ ربُّنا sebagai mubtada’dan باعَدَ  dengan fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madhi.
d.      Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf maupun kata seperti firman Allah أَفَلَمْ يَيْأَسْ  dibaca أَفَلَمْ يَأْيَسَ (Ar-Ra’d : 31)
e.       Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf maupun penggantian lafazh dengan lafazh, seperti firman Allah (Al Baqarah : 159) وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا yang dibaca dengan huruf za’ dan mendhammahkan nun, tetapi juga dibaca dengan huruf ra’ dan memfathahkan nun.
f.       Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan. Dalam penambahan seperti firman Allah (At-Taubah : 100) وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ , dengan menambahkan    مِنْ تَحْتَهَا الأنْهَارُ keduanya merupakan qira’at mutawatir. Mengenai perbedaan karena ada pengurangan (naqsh), seperti pada surat Al-Baqarah : 116 وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا, sedang jumhur ulama membacanya tanpa wawu قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا.
5.      Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab. Sebab, lafazh sab’ah dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan.
6.      Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at sab’ah.


Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama. Yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab dan lainnya. Ibnu Abdil Barr menisbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama.
Dalil pendapat ini yang terdapat dalam hadis Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabarani menyebutkan, bahwasanya Jibril berkata, “ Hai Muhammad, bacalah Al Qur’an dengan satu huruf”. Lalu Mikail berkata, “ Tambahkanlah”. Jibril berkata lagi, “ Dengan dua huruf”. Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata, “ Semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat adzab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil, idzhab, asra’a dan a’jala. Dan masih banyak lagi hadis yang mendukung pendapat ini.

B.     Perbedaan antara ahruf sab’ah dengan qira’at sab’ah
Al Qur’an itu bukanlah qira’at. Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Adapun qira’at adalah perbedaan cara mengucapakan lafazh-lafazh wahyu tersebut.
Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan mengatakan bahwa :
a.       Al Qur’an ialah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjadi pedoman hidup dan untuk melemahkan bangsa arab yang terkenal petah lidahnya (fasih) dan tinggi susunan bahasanya.
b.      Al Qira’at ialah perbedaan lafad-lafad wahyu mengenai huruf dan cara-cara membunyikannya, seperti tidak mentasyidkan, mentasyidkan dan lain-lain.[4]
Berkata Abu Syamah dalam kitabnya Al Mursyidul Wajiz, “ Segolongan orang menyangka bahwasanya qira’at sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di dalam hadits. Persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli ilmu. Juga anggapan seperti itu adalah anggapan orang-orang yang tidak mengerti.”
Timbulnya sangkaan yang demikian itu lantaran tindakan Abu Bakar Ahmad ibn Misa ibn Abbas yang terkenal dengan nama Ibnu Mujahid (wafat tahun 324 H) yang telah berusaha untuk mengumpulkan tujuh qira’at dari tujuh imam yang terkenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Syam. Usaha mengumpulkan qira’at- qira’at yang tujuh itu adalah secara kebetulan saja karena masih ada imam-imam qira’at yang lebih tinggi derajatnya dari tujuh orang itu, dan banyak pula jumlahnya.[5]
Tampaknya, mereka terjebak salah paham tentang bilangan tujuh, sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka. Dalam hal ini Ibnu Umar berkomentar, “ Orang yang menginterpretasikan kata sab’ah dalam hadis ini dengan qira’at tujuh, telah melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kekaburan bagi orang awam, dengan mengesankan kepada setiap orang yang berwawasan sempit bahwa berbagai macam qira’at itulah yang dimaksudkan oleh hadits. Andaikata qira’at yang mahsur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.”
C.     Pengertian qira’at dan para qurra’

Pengertian qira’at secara etimologi (bahasa), Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’a. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6]
Ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama:

1.      Menurut Az-Zarkasyi

اختلاف ألفاظ الوحي المذكور في كتابة الحروف أو كيفيّتها من تخفيف و تثقيل و غيرها
Artinya :
“ Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh- lafazh Al Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruftersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”

2.      Menurut Ash-Shabuni

مذهب من مذهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمّة بأسانيدها إلى رسول الله ص.م.
Artinya :
“ Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.”[7]
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode Qurra’ yang mengajarkan bacaan Al Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman pada masa sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud,  Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in diberbagai negeri belajar qira’at. Mereka itu semua bersandar kepada Rasulullah.
Istilah “tujuh sistem qira’at” tidak dikenal di negeri-negeri islam ketika para ulama mulai menciptakan sistem qira’at. Para ahli terdahulu, seperti Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Ja’far at-Thabari dan Abu Hatim as-Sajistani, dalam kitabnya masing-masing menyebut jumlah sistem qira’at jauh lebih banyak daripada hanya sekedar tujuh sistem. Istilah “tujuh sistem qira’at” baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu setelah banyak orang di negeri- negeri islam menerima baik sistem qira’at dari beberapa imam dan enggan menerimanya dari imam yang lain :
1)      Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah ( wafat 120 H). Al-Dariy termasuk generasi tabi’in. Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang sempat ditemuinya diantaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub al-Anshariy, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
2)      Nafi’ bin Abd al-Rahman bin Abu Na’im, dari Madinah (wafat 169 H). Tokoh ini belajar qira’at kepada 70 orang tabi’in. Dan para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
3)      Abdullah al-Yahshibiy, yang terkenal dengan sebutan Abu ‘Amir al-Dimasyqiy dari Syam(wafat 118 H). Beliau mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah al-Mahzumiy, dari Utsman bin Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin al-Asyqo’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Abdullah al-Yahshibiy sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan secara langsung.
4)      Abu Amar dan Ya’kub. Kedua tokoh ini berasal dari Bashrah, Irak. Nama lengkap Abu Amar adalah Zabban bin al-‘Ala bin Ammar (wafat 154 H). Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair yang mengambil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan Ubay bin Ka’ab.
5)      Sedangkan Ya’kub bernama lengkap Ibnu Ishak al-Hadhramiy (wafat 205 H). Ia belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman al-Thawil yang mengambil qira’at dari Ashim dan Abu Amar.[8]
6)      Di kufah terkenal sistem qira’at Hamzah dan Ashim. Nama lengkap Hamzah adalah Hamzah bin Ibnu Habib az-Zayyat maula. Ia belajar ilmu qira’at kepada Sulaiman bin Muhram, murid Yahya bin Watstsab yang berguru kepada Zirr bin Hubaisy belajar dari Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud.
7)      Adapun Ashim nama lengkapanya adalah Ashim bin Anin-Nujud Al-Asadi (wafat 127 H), belajar qira’at kepada Zirr bin Hubaisy, murid Abdullah bin Mas’ud.
Diantara tujuh orang ahli qira’at itu yang berasal dari oarang arab hanya Ibnu Amir dan Abu Umar.
Ketika Imam Besar Ibnu Mujahid menghimpun tujuh sistem qira’at yang kita kenal itu, ia menghapus nama Ya’kub dan menggantikannya dengan Al-Kisa’i.[9]
Al-Kisa’i adalah Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah al-Kisaiy al-Nahwiy (wafat 189 H). Seorang ahli nahwu dari Kufah. Yang mahsyur meriwayatkan dari beliau adalah Abu al-Harits dan al-Duriy. Abu al-Harits adalah al-Laits ibn Khalid al-Marwaziy (wafat 240 H), termasuk murid Al-Kisa’I yang paling agung, berstatus tsiqat lagi dhabit. Sedangkan al-Duriy, dia adalah Abu Umar Hafsh ibn Umar al-Duriy, yang pernah disinggung dalam periwayatan Abu Amr.[10]
Kita mengetahui bahwa Al-Kisa’I adalah orang Kufah, sedangkan Ya’kub orang Basrah. Dengan demikian seakan-akan Ibnu Mujahid cukup menampung seorang ahli qira’at saja yang berasal dari Basrah, yaitu Abu Amr, sedangkan para ahli qira’at dari Kufah yang ditetapkan olehnya adalah Hamzah, Ashim, dan Al-Kisa’i.
Adapun Qira’at Asyarah (Qira’at Sepuluh) adalah qira’at tujuh ditambah dengan tiga qira’at berikut :
8)      Abu Ja’far Al-Madani. Ia bernama Yazid bin Al-Qa’qa’. Wafat di Madinah pada 128 H, tapi ada yang mengatakan 132 H. dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz
9)      Ya’qub Al-Bashri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadhrami. Wafat di Basrah pada 205 H, ada yang mengatakan pada 185 H. dua perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
10)  Khalaf. Ia adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzar Al-Baghdadi. Wafat pada 229 H, ada yang mengataka bahwa tahun wafatnya tidak diketahui.  Dua perawinya adalah Ishaq dan Idris.
Adapun Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at Empat Belas) adalah qira’at sepuluh ditambah dengan empat qira’at sebagai berikut :
11)  Al-Hasan Al-Bashri, seoarng maula kaum Anshar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H.
12)  Muhammad bin Abdirrahman yang dikenal dengan Ibnu Muhaishin. Wafat pada 123 H. dia adalah syaikhnya Abu Amru.
13)  Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi dari Baghdad. Ia belajar qira’at dari Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad-Duri dan As-Susi, wafat pada 202 H.
14)  Abul Faraj Muahmmad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.[11]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Menurut penjelasan diatas  dapat disimpulkan bahwa dari sekian banyak pendapat ulama yang dikemukakan mengenai pengertian atau pemaknaan tujuh huruf, pendapat nomor satulah yang paling kuat. Yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna.
Sedangkan sangkaan bahwa tujuh huruf yang dimaksud dalam hadis itu adalah qira’at sab’ah, maka hal itu adalah keliru. Karena sudah dijelaskan bahwa Al Qur’an itu berbeda dengan qira’at. Hal itu terjadi karena adanya kekaburan pada kaum awam yang dikarenakan kesalahpaham tentang bilangan tujuh.
Dan Qira’at itu sendiri adalah adalah salah satu madzhab pembacaan Al Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Istilah “tujuh sistem qira’at” tidak dikenal di negeri-negeri islam ketika para ulama mulai menciptakan sistem qira’at. Istilah “tujuh sistem qira’at” baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu setelah banyak orang di negeri- negeri islam menerima baik sistem qira’at dari beberapa imam dan enggan menerimanya dari imam yang lain.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2009, cet. IV)
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an, terj. Halimudin (Jakarta : Rineka Cipta, 1993, cet. I)
As-Shalih, Subhi, MEMBAHAS ILMU-ILMU AL QUR’AN, Mahabits fi ulumul Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990, cet.I )
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL QUR’AN dan TAFSIR (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012, cet.IV)
Ash-Shiddieqy , Teungku M. Hasbi, ILMU-ILMU AL QUR’AN Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur’an (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2002, cet.II)
Anwar , Rosihon, ULUM AL QUR’AN (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010, cet.II)
Marzuki, Kamaluddin, ‘ULUM AL QUR’AN (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994, cet.II)
Ichwan, Mohammad Nor, STUDI ILMU-ILMU AL QUR’AN (Semarang : RaSAIL Media Group, 2008, cet.I)



[1] مباحث فى علوم القران، منّاع القطان، ص. ١٥٧- ١٥٨
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2009, cet. IV), h. 195-198
[3] Subhi As-Shalih, MEMBAHAS ILMU-ILMU AL QUR’AN, Mahabits fi ulumul Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990, cet.I ) h. 126
[4] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL QUR’AN dan TAFSIR (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012, cet.IV), h.7
[5] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL QUR’AN Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur’an (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2002, cet.II), h.139
[6] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, h.211
[7] Rosihon Anwar, ULUM AL QUR’AN (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010, cet.II), h.141
[8] Kamaluddin Marzuki, ‘ULUM AL QUR’AN (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994, cet.II), h.104
[9] Subhi as-Shalih, MEMBAHAS ILMU-ILMU AL QUR’AN, h. 323
[10] Mohammad Nor Ichwan, STUDI ILMU-ILMU AL QUR’AN (Semarang : RaSAIL Media Group, 2008, cet.I), h.225
[11] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, h.225-226