Al Qur’an
Turun atas Tujuh Huruf
Qira’at dan
Para Qurra’
MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah :
Ulumul Quran
Dosen Pengampu : Dr. Zuhad, M.A
Di susun Oleh:
Rizka
Qomariyah
124111029
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Al-Quran
merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan yang berguna
untuk mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupak
an kitab otentik dan
unik. Redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga
ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.
Fenomena Al-Qur’an
sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw selalu menjadi hal yang menarik
minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya.
Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’ah ahruf) menimbulkan
perbedaan pendapat dalam memaknainya di kalangan ulama, perbedaan pendapat ini
bersumber pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, serta hubungannya
dengan cakupan mushaf Usman. Namun sebagian ulama ada yang menyangka ahruf
sab’ah itu dengan qira’at sab’ah. Dibawah ini akan dijelaskan tentang
macam-macam pengertian tujuh huruf menurut para ulama, perbedaan ahruf
sab’ah dengan qira’at sab’ah, qira’at dan para qurra’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tujuh huruf menurut
para ulama ?
2.
Apa perbedaan antara ahruf sab’ah
dengan qira’at sab’ah ?
3.
Pengertian qira’at dan para qurra’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian tujuh huruf menurut para
ulama
Banyak hadis
mutawatir yang menerangkan bahwa Al Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf.
Diantara hadis dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda,
أقرأني جبريل
على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده و يزيد ني حتى انتهى الى سبعة أحرف
" Jibril membacakan ( Al Qur’an ) kepadaku dengan satu huruf.
Kemudian dia berulang kali aku minta
agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh
huruf.” ( Rawi : Bukhari).
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin
Khatab RA, Ia berkata, “ Aku mendengar
Hisyam bin Hakim membaca surat Al-furqan dimasa hidup Rasulullah. Aku perhatikan
bacaanya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya disaat ia
shalat, tetapi aku urungkan. Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai
aku menarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “Siapakah yang mengajarkan
bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab, “ Rasulullah yang membacakannya
kepadaku, Lalu aku katakan kepadanya, “ Kamu berdusta! Demi Allah, Rasulullah
telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu.
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa
aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-furqan dengan huruf-huruf
(bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “ Lepaskan
dia, hai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian
membacanya dengan bacaan seperti yang kudengar tadi. Maka kata Rasulullah , “Begitulah
surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai Umar!” Lalu
aku membacanya dengan bacaan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepadaku.
Maka Rasulullah bersabda
إن هذا القرآن انزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منها[1]
" Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah yang
mudahnya”.
Dalam menafsirkan huruf-huruf ini banyak terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Sampai tiga puluh lima pendapat. Namun kebanyakan pendapat
itu tumpang tindih. Di sini saya akan mengemukakan beberapa pendapat di
antaranya yang paling mendekati kebenaran.
1. Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda-beda dalam mengungkapan satu makna, maka Al Qur’an pun
diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang
makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al
Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Dikatakan bahwa ketujuh
bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan
Yaman. Sedangkan menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al Qur’an diturunkan dalam
bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar.
2. Pendapat yang kedua ini
berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surat Al
Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam satu
makna.
Menurut Abu Ubaid yang
dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh
bahasa yang bertebaran dalam Al Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy,
sebagian yang lain bahasa Hudzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain.
3.
Sebagian ulama menyebutkan, yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahy
(larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan matsal
(perumpamaan).[2]
Pendapat itu didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Nabi Saw bersabda,
“ Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu
pintu huruf. Sedang Al Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh
huruf, yaitu : zajr (larangan),amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal
”.
Tapi Ibnu ‘Abdulbirr menegaskan, “ Hadis
tersebut tidak dijamin kebenarannya oleh para ulama ahli hadis.[3]
4.
Segolongan ulama berpendapat, bahwa
yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya
terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu :
a.
Ikhtilaful asma’ ( perbedaan kata
benda): dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya seperti tatsniyah,
jamak dan ta’nits. Misalnya seperti firman Allah dalam surat Al Mulminun: 8 وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٨) Ada yang
membaca لاماناتهم yaitu dengan jamak, dan ada pula yang membacanya dengan لامانتهم yaitu dengan ifrad. Bentuk dalam mashaf لامنتهم .
b. Perbedaan dalam segi
i’rab, seperti firman Allah مَا هَذَا
بَشَرًا
(Yusuf: 31) Jumhur membacanya dengan nasab, sebab ” ما” berfungsi seperti “ ليس” sebagaimana bahasa penduduk
Hijaz. Adapun Ibnu Mas’ud membacanya مَا هَذَا بَشَرٌ yaitu dengan rafa , sesuai
dengan bahasa Tamim.
c. Perbedaan dalam tashrif,
seperti firman Allah فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ
أَسْفَارِنَا (Saba’ : 19), dibaca dengan
menasabkan ربَنا karena menjadi mudhaf dan
باعِدْ dibaca dalam bentuk perintah (fi’il amr). Disini dibaca pula
dengan rafa’ ربُّنا sebagai mubtada’dan باعَدَ dengan fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madhi.
d. Perbedaan dalam taqdim
(mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf maupun kata
seperti firman Allah أَفَلَمْ يَيْأَسْ dibaca أَفَلَمْ
يَأْيَسَ (Ar-Ra’d : 31)
e. Perbedaan dalam segi
ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf maupun penggantian
lafazh dengan lafazh, seperti firman Allah (Al Baqarah : 159) وَانْظُرْ
إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا yang dibaca dengan huruf za’ dan
mendhammahkan nun, tetapi juga dibaca dengan huruf ra’ dan memfathahkan nun.
f. Perbedaan dengan sebab
adanya penambahan dan pengurangan. Dalam penambahan seperti firman Allah
(At-Taubah : 100) وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ , dengan menambahkan مِنْ تَحْتَهَا الأنْهَارُ keduanya merupakan qira’at
mutawatir. Mengenai perbedaan karena ada pengurangan (naqsh), seperti pada
surat Al-Baqarah : 116 وَقَالُوا
اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا, sedang jumhur ulama membacanya
tanpa wawu قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ
وَلَدًا.
5. Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah,
tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan
orang arab. Sebab, lafazh sab’ah dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah
banyak dan sempurna dalam bilangan satuan.
6. Ada juga ulama yang
berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at sab’ah.
Pendapat
terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama. Yang mengatakan
bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa
arab dalam mengungkapkan satu makna. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin
Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab dan lainnya. Ibnu Abdil Barr menisbatkan
pendapat ini kepada sebagian besar ulama.
Dalil pendapat
ini yang terdapat dalam hadis Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Ath-Thabarani menyebutkan, bahwasanya Jibril berkata, “ Hai Muhammad, bacalah
Al Qur’an dengan satu huruf”. Lalu Mikail berkata, “ Tambahkanlah”. Jibril
berkata lagi, “ Dengan dua huruf”. Jibril terus menambahnya hingga sampai
dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata, “ Semua itu obat penawar yang
memadai, selama ayat adzab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat
tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil,
idzhab, asra’a dan a’jala. Dan masih banyak lagi hadis yang mendukung pendapat
ini.
B.
Perbedaan antara ahruf sab’ah
dengan qira’at sab’ah
Al Qur’an itu
bukanlah qira’at. Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
sebagai bukti risalah dan mukjizat. Adapun qira’at adalah perbedaan cara
mengucapakan lafazh-lafazh wahyu tersebut.
Az-Zarkasyi
dalam kitabnya Al-Burhan mengatakan bahwa :
a.
Al Qur’an ialah wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjadi pedoman hidup dan untuk
melemahkan bangsa arab yang terkenal petah lidahnya (fasih) dan tinggi susunan
bahasanya.
b.
Al Qira’at ialah perbedaan
lafad-lafad wahyu mengenai huruf dan cara-cara membunyikannya, seperti tidak mentasyidkan,
mentasyidkan dan lain-lain.[4]
Berkata Abu
Syamah dalam kitabnya Al Mursyidul Wajiz, “ Segolongan orang menyangka
bahwasanya qira’at sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di
dalam hadits. Persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli
ilmu. Juga anggapan seperti itu adalah anggapan orang-orang yang tidak mengerti.”
Timbulnya
sangkaan yang demikian itu lantaran tindakan Abu Bakar Ahmad ibn Misa ibn Abbas
yang terkenal dengan nama Ibnu Mujahid (wafat tahun 324 H) yang telah berusaha
untuk mengumpulkan tujuh qira’at dari tujuh imam yang terkenal di Mekkah, Madinah,
Kufah, Basrah dan Syam. Usaha mengumpulkan qira’at- qira’at yang tujuh itu
adalah secara kebetulan saja karena masih ada imam-imam qira’at yang lebih
tinggi derajatnya dari tujuh orang itu, dan banyak pula jumlahnya.[5]
Tampaknya,
mereka terjebak salah paham tentang bilangan tujuh, sehingga permasalahannya menjadi kabur
bagi mereka. Dalam hal ini Ibnu Umar berkomentar, “ Orang yang
menginterpretasikan kata sab’ah dalam hadis ini dengan qira’at tujuh, telah
melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kekaburan bagi orang
awam, dengan mengesankan kepada setiap orang yang
berwawasan sempit bahwa berbagai macam qira’at itulah yang dimaksudkan oleh
hadits. Andaikata qira’at yang mahsur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu
kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.”
C.
Pengertian qira’at dan para qurra’
Pengertian qira’at secara etimologi (bahasa), Qira’at adalah jamak dari
qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’a. Dalam istilah keilmuan,
qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al Qur’an yang dipakai oleh salah
seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6]
Ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama:
1. Menurut Az-Zarkasyi
اختلاف ألفاظ
الوحي المذكور في كتابة الحروف أو كيفيّتها من تخفيف و تثقيل و غيرها
Artinya :
“ Qira’at adalah
perbedaan (cara mengucapkan) lafazh- lafazh Al Qur’an, baik menyangkut
huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruftersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”
2. Menurut Ash-Shabuni
مذهب من مذهب
النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمّة بأسانيدها إلى رسول الله ص.م.
Artinya :
“ Qira’at adalah suatu
madzhab cara pelafalan Al Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan
sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.”[7]
Qira’at ini
didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode
Qurra’ yang mengajarkan bacaan Al Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka
masing-masing adalah dengan berpedoman pada masa sahabat. Diantara para sahabat
yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan
lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in diberbagai
negeri belajar qira’at. Mereka itu semua bersandar kepada Rasulullah.
Istilah “tujuh
sistem qira’at” tidak dikenal di negeri-negeri islam ketika para ulama mulai
menciptakan sistem qira’at. Para ahli terdahulu, seperti Abu ‘Ubaid al-Qasim
bin Salam, Abu Ja’far at-Thabari dan Abu Hatim as-Sajistani, dalam kitabnya
masing-masing menyebut jumlah sistem qira’at jauh lebih banyak daripada hanya
sekedar tujuh sistem. Istilah “tujuh sistem qira’at” baru dikenal orang pada
tahun ke-200 H, yaitu setelah banyak orang di negeri- negeri islam menerima
baik sistem qira’at dari beberapa imam dan enggan menerimanya dari imam yang
lain :
1) Abdullah bin Katsir
al-Dariy dari Makkah ( wafat 120 H). Al-Dariy termasuk generasi tabi’in.
Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
Sahabat Rasulullah yang sempat ditemuinya diantaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub
al-Anshariy, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
2) Nafi’ bin Abd al-Rahman
bin Abu Na’im, dari Madinah (wafat 169 H). Tokoh ini belajar qira’at kepada 70
orang tabi’in. Dan para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubay
bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
3) Abdullah al-Yahshibiy,
yang terkenal dengan sebutan Abu ‘Amir al-Dimasyqiy dari Syam(wafat 118 H).
Beliau mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah al-Mahzumiy, dari
Utsman bin Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah
Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin al-Asyqo’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
Abdullah al-Yahshibiy sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan secara langsung.
4) Abu Amar dan Ya’kub.
Kedua tokoh ini berasal dari Bashrah, Irak. Nama lengkap Abu Amar adalah Zabban
bin al-‘Ala bin Ammar (wafat 154 H). Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin
Jabr, Sa’id bin Jubair yang mengambil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan Ubay
bin Ka’ab.
5) Sedangkan Ya’kub bernama
lengkap Ibnu Ishak al-Hadhramiy (wafat 205 H). Ia belajar qira’at pada Salam
bin Sulaiman al-Thawil yang mengambil qira’at dari Ashim dan Abu Amar.[8]
6) Di kufah
terkenal sistem qira’at Hamzah dan
Ashim. Nama lengkap Hamzah adalah Hamzah bin Ibnu Habib az-Zayyat maula. Ia
belajar ilmu qira’at kepada Sulaiman bin Muhram, murid Yahya bin Watstsab yang
berguru kepada Zirr bin Hubaisy belajar dari Utsman bin Affan dan Abdullah bin
Mas’ud.
7) Adapun Ashim nama
lengkapanya adalah Ashim bin Anin-Nujud Al-Asadi (wafat 127 H), belajar qira’at
kepada Zirr bin Hubaisy, murid Abdullah bin Mas’ud.
Diantara tujuh orang ahli
qira’at itu yang berasal dari oarang arab hanya Ibnu Amir dan Abu Umar.
Ketika Imam
Besar Ibnu Mujahid menghimpun tujuh sistem qira’at yang kita kenal itu, ia
menghapus nama Ya’kub dan menggantikannya dengan Al-Kisa’i.[9]
Al-Kisa’i
adalah Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah al-Kisaiy al-Nahwiy (wafat 189 H). Seorang ahli
nahwu dari Kufah. Yang mahsyur meriwayatkan dari beliau adalah
Abu al-Harits dan al-Duriy. Abu al-Harits adalah al-Laits ibn Khalid
al-Marwaziy (wafat 240 H), termasuk murid Al-Kisa’I yang paling agung, berstatus tsiqat lagi dhabit. Sedangkan
al-Duriy, dia adalah Abu Umar Hafsh ibn Umar al-Duriy, yang pernah disinggung
dalam periwayatan Abu Amr.[10]
Kita mengetahui bahwa Al-Kisa’I adalah orang Kufah, sedangkan Ya’kub orang Basrah. Dengan demikian
seakan-akan Ibnu Mujahid cukup menampung seorang ahli qira’at saja yang berasal
dari Basrah, yaitu Abu Amr, sedangkan para ahli qira’at dari Kufah yang
ditetapkan olehnya adalah Hamzah, Ashim, dan Al-Kisa’i.
Adapun Qira’at
Asyarah (Qira’at Sepuluh) adalah qira’at tujuh ditambah dengan tiga qira’at
berikut :
8)
Abu Ja’far Al-Madani. Ia bernama
Yazid bin Al-Qa’qa’. Wafat di Madinah pada 128 H, tapi ada yang mengatakan 132
H. dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz
9)
Ya’qub Al-Bashri. Ia adalah Abu
Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadhrami. Wafat di Basrah pada 205 H, ada
yang mengatakan pada 185 H. dua perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
10)
Khalaf. Ia adalah Khalaf bin Hisyam
bin Tsa’lab Al-Bazzar Al-Baghdadi. Wafat pada 229 H, ada yang mengataka bahwa
tahun wafatnya tidak diketahui. Dua
perawinya adalah Ishaq dan Idris.
Adapun Qira’at
Arba’at Asyrah (Qira’at Empat Belas) adalah qira’at sepuluh ditambah dengan
empat qira’at sebagai berikut :
11)
Al-Hasan Al-Bashri, seoarng maula
kaum Anshar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.
Wafat pada 110 H.
12)
Muhammad bin Abdirrahman yang
dikenal dengan Ibnu Muhaishin. Wafat pada 123 H. dia adalah syaikhnya Abu Amru.
13)
Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi
An-Nahwi dari Baghdad. Ia belajar qira’at dari Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad-Duri dan As-Susi, wafat pada 202 H.
14)
Abul Faraj Muahmmad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa dari sekian banyak pendapat ulama yang dikemukakan mengenai
pengertian atau pemaknaan tujuh huruf, pendapat nomor satulah yang paling kuat.
Yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna.
Sedangkan sangkaan bahwa tujuh huruf yang dimaksud dalam hadis itu adalah
qira’at sab’ah, maka hal itu adalah keliru. Karena sudah dijelaskan bahwa Al
Qur’an itu berbeda dengan qira’at. Hal itu terjadi karena adanya kekaburan pada
kaum awam yang dikarenakan kesalahpaham tentang bilangan tujuh.
Dan Qira’at itu sendiri adalah adalah salah satu madzhab pembacaan Al
Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang
berbeda dengan madzhab lainnya. Istilah “tujuh sistem qira’at” tidak dikenal di
negeri-negeri islam ketika para ulama mulai menciptakan sistem qira’at. Istilah
“tujuh sistem qira’at” baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu setelah
banyak orang di negeri- negeri islam menerima baik sistem qira’at dari beberapa
imam dan enggan menerimanya dari imam yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an
Al-Qaththan, Manna, Pengantar
Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq
El-Mazni, Lc. MA (Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2009, cet. IV)
Al-Qaththan, Manna, Pengantar
Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi Ulum Al-Qur’an, terj. Halimudin (Jakarta
: Rineka Cipta, 1993, cet. I)
As-Shalih, Subhi, MEMBAHAS ILMU-ILMU AL QUR’AN, Mahabits fi ulumul Qur’an, terj. Tim
Pustaka Firdaus ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990, cet.I )
Ash-Shiddieqy, Teungku M.
Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL QUR’AN dan TAFSIR (Semarang : PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012, cet.IV)
Ash-Shiddieqy , Teungku
M. Hasbi, ILMU-ILMU AL QUR’AN Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur’an
(Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2002, cet.II)
Anwar ,
Rosihon, ULUM AL QUR’AN (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010, cet.II)
Marzuki,
Kamaluddin, ‘ULUM AL QUR’AN (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994,
cet.II)
Ichwan, Mohammad Nor, STUDI
ILMU-ILMU AL QUR’AN (Semarang : RaSAIL Media Group, 2008, cet.I)
http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/12/turunnya-al-quran-dengan-tujuh-huruf.html sabtu, 16
maret 2013 10:23
[1] مباحث فى علوم
القران، منّاع القطان، ص. ١٥٧- ١٥٨
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi ILMU AL-QUR’AN, Mahabits fi
Ulum Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Jakarta : PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 2009, cet. IV), h. 195-198
[3] Subhi As-Shalih, MEMBAHAS
ILMU-ILMU AL QUR’AN, Mahabits fi ulumul Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990, cet.I ) h. 126
[4] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU
AL QUR’AN dan TAFSIR (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012, cet.IV),
h.7
[5] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU
AL QUR’AN Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur’an (Semarang : PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2002, cet.II), h.139
[9] Subhi as-Shalih, MEMBAHAS ILMU-ILMU AL
QUR’AN, h. 323
[10] Mohammad Nor Ichwan, STUDI ILMU-ILMU AL
QUR’AN (Semarang : RaSAIL Media Group, 2008, cet.I), h.225